Di Kupang, sampah bukan lagi sekadar plastik yang terbang dari pasar ke got. Ia telah menjelma menjadi ornamen kota, hiasan yang tak diminta, tapi terus hadir di setiap sudut mata. Dari bibir pantai Lasiana hingga trotoar depan Kantor Wali Kota, warna-warni plastik dan aroma busuk menyusun mozaik yang tak pernah selesai. Kita seperti hidup di museum kebiasaan buruk yang terbuka 24 jam.
Pemerintah Kota Kupang memang punya agenda. Ada program bersih kota, ada armada pengangkut, ada juga slogan-slogan yang bertebaran di baliho: Kupang Bersih, Kupang Sehat. Tapi, seperti banyak kebijakan di negeri ini, ia berhenti di kalimat, tak sampai ke lapangan. Sampah masih tersenyum di setiap tikungan, seolah ingin berkata, “Aku ini bagian dari peradaban kalian.”
Persoalan sampah di Kupang tidak sekadar soal teknis. Ini adalah urusan cara pikir. Kebijakan pengelolaan sampah kita seperti punya saku besar, tapi bolong di bawah. Sampah diangkut dari satu titik, dibuang ke titik lain, tanpa rencana jangka panjang yang rapi. TPS penuh, TPA over kapasitas, dan laut jadi opsi terakhir yang paling murah. Kita menyebutnya
“pembuangan akhir”, padahal itu cuma memindahkan masalah dari darat ke air.
Yang lebih menggelitik, setiap tahun anggaran untuk urusan sampah naik. Angka-angka itu terdengar meyakinkan di rapat, apalagi ketika dipresentasikan dengan slide berwarna cerah. Tetapi, di jalan raya, plastik bekas minuman masih berbaring santai di bawah pohon gamal. Bau menyengat dari tumpukan organik masih menguasai pasar. Kalau ini namanya kemajuan, maka barangkali kita sedang bergerak mundur dengan penuh percaya diri.
Kupang adalah kota yang anginnya kencang. Dan itu adalah sahabat karib sampah. Plastik yang dibuang sembarangan di satu kelurahan bisa berakhir di pantai kelurahan lain. Angin memindahkan sampah dengan lebih rajin daripada truk pengangkut. Di sini, sampah bukan hanya masalah pengelolaan, tapi juga soal budaya. Kita masih menganggap membuang sampah sembarangan adalah “urusan kecil” yang tak pantas diperdebatkan. Padahal dari hal kecil itu, wajah kota berubah jadi lusuh.
Ironisnya, banyak warga Kupang rajin mengeluh soal sampah, tapi tidak semua mau repot menguranginya. Pemerintah pun, alih-alih memperbaiki sistem, lebih sering menyalahkan kesadaran masyarakat. Padahal, tanpa fasilitas memadai, kesadaran hanyalah jargon kosong.
Bagaimana mau memilah sampah jika bak penampungan tak pernah datang tepat waktu? Bagaimana mau tertib membuang jika TPS penuh hingga merangkak seperti bayi janji ke jalan raya?
Di balik semua ini, kita melihat pola kebijakan yang dangkal: fokus pada aksi sesaat, bukan solusi berkelanjutan. Misalnya, kerja bakti massal yang difoto lalu diunggah ke media sosial. Hari itu kota tampak rapi, tapi seminggu kemudian, kita kembali ke rutinitas: menutup hidung saat melewati tumpukan sampah di jalan raya. Sampah di Kupang adalah cermin. Ia memantulkan wajah birokrasi yang lebih sibuk menata kata daripada menata kota. Ia juga memantulkan warga yang ingin hidup bersih, tapi enggan berkorban untuk kebersihan itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan sering hanya jadi
kantong retak apa pun yang dimasukkan, pada akhirnya jatuh dan berserakan kembali.
Kupang butuh keberanian. Keberanian untuk mengubah sistem, bukan sekadar merapikan halaman saat tamu datang. Keberanian untuk menutup TPA ilegal, meski itu berarti harus berhadapan dengan pengusaha nakal. Keberanian untuk menegakkan aturan, meski akan ada warga yang marah. Keberanian untuk memulai pendidikan lingkungan sejak dini, bukan hanya menempelkan slogan di tembok sekolah.
Sebab, kalau kita terus membiarkan sampah jadi bagian dari lanskap kota, kita sedang mengajari generasi berikutnya bahwa kotor itu normal, bau itu biasa, dan ketidakpedulian adalah warisan. Semua ini bukan hanya soal estetika kota, ini soal harga diri sebuah peradaban. Kupang tidak kekurangan cahaya matahari untuk mengeringkan sampah organik, tidak kekurangan lahan untuk pengelolaan, dan tidak kekurangan manusia pintar yang bisa merancang sistem. Yang kurang hanya satu: kemauan politik yang tidak sekadar berhenti di spanduk. Sebab pada akhirnya, sampah bukan hanya ada di jalanan, ia ada di saku kebijakan yang setengah hati.
Kontributor Tulisan: King Ama