Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan oleh video pendek berjudul “Surat dari Sofia untuk Presiden Prabowo”. Sofia, siswi sekolah rakyat dari Nusa Tenggara Timur dengan polos berkisah bahwa setiap hari ia hanya makan nasi putih dan garam. Sesekali ibunya menambahkan daun ubi rebus. Sofia baru bisa makan daging ayam kalau ada tetangga buat syukuran. Kisah itu menggugah simpati publik dan perhatian Presiden. Di Sekolah Rakyat, Sofia disediakan menu lengkap : nasi hangat, ikan bakar, telur, bahkan daging ayam setiap hari. Ia menyebut hidupnya kini seperti mimpi. “Bapak su angkat beta dari tempat gelap, taruh beta di tempat terang,” katanya polos.
Dalam video tersebut, perubahan pola makan Sofia ini digambarkan sebagai keajaiban atau “berkat” dari kebijakan negara. Ini sejajar dengan cara negara sering membingkai program bantuan pangan seperti Bantuan Pangan Non Tunai, beras untuk rakyat miskin dan lainnya sebagai pemberian kemurahan hati pemerintah. Dalam paradigma ini, rakyat menjadi objek penerima, bukan subjek yang berhak atas pangan bergizi dan adil.
Sofia bukan sekadar korban kemiskinan, melainkan hasil dari kolonialisasi pangan yang diwariskan negara sejak masa orde baru. Ia tumbuh di sistem yang menempatkan beras sebagai ukuran kemajuan, menggusur sorgum, ubi, jagung yang dahulu menjadi penopang kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur.
Menelisik ke masa orde baru, pemerintah kala itu menjadikan beras sebagai simbol pembangunan nasional. Melalui program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas), petani didorong untuk meningkatkan produktivitas beras menggunakan bibit unggul hasil rekayasa yang disubsidi oleh pemerintah. Namun, bibit unggul tidak bisa ditanam kembali sehingga petani harus membeli benih baru setiap musim tanam. Akibatnya, biaya produksi meningkat dan keanekaragaman hayati menurun karena petani hanya menanam satu jenis tanaman saja. Selain itu, benih unggul membutuhkan lebih banyak pupuk, pestisida dan air untuk tumbuh optimal. Penggunaan bahan kimia ini lama kelamaan merusak kesuburan tanah dan memaksa petani bergantung pada pupuk sintetis untuk menjaga produktivitas lahan.
Kebijakan ini tidak hanya mengubah cara bertani tapi juga cara berpikir masyarakat tentang pangan. Pernyataan “belum makan kalau belum makan nasi” membentuk imajinasi tunggal bahwa kemajuan berarti meninggalkan pangan lokal.
Swasembada beras 1984 menjadi proyek politik terbesar Soeharto untuk menegaskan citra stabilitas dan kemandirian, meski hasilnya justru menciptakan ketergantungan baru (Kompasiana, 2022). Dalam buku Sejarah Ekonomi Indonesia (2016), Anne Booth menjelaskan bahwa sistem ekonomi pangan Indonesia sejak masa kolonial hingga Orde Baru mempertahankan pola ekstraktivisme pangan dimana negara mengatur pangan rakyat demi proyek besar, bukan demi rakyat itu sendiri. Akibatnya, pangan lokal seperti sagu, jagung, ubi, sorgum dan lainnya ditinggalkan. Ia dianggap kuno dan kalah prestise dibanding beras.
Dalam banyak rumah di Timur Indonesia, beras menjadi penanda status sosial. Orang beralih ke nasi karena ingin “naik kelas.”
Modernisasi pertanian ala Orde Baru juga mengikis pengetahuan tradisional petani yang selama ini menjaga keberlanjutan tanah dan keanekaragaman pangan. Pangan lokal tidak hanya hilang dari lahan, tetapi juga dari ingatan.
Di Desa Ja’o Du’a, Kecamatan Detukeli, Kabupaten Ende misalnya. Proyek serupa seperti percetakan sawah yang digadang-gadang sebagai lumbung pangan justru menggeser sistem pertanian dan cara pandang masyarakat terhadap pangan. Riset Ekora NTT tahun 2024 menemukan bahwa terdapat 145 jenis pangan lokal yang dulu menjamin kedaulatan pangan tapi kini 19 jenis sudah punah, sisanya masih ada di kebun dan hutan tapi jarang dikonsumsi karena pola konsumsi bergeser ke beras.
Gastro Kolonialisme: Penjajahan di Meja Makan
Istilah gastro kolonialisme pertama kali diperkenalkan oleh akademisi asal Guam, Craig Santos Perez, untuk menggambarkan bentuk penjajahan baru bukan lewat senjata, melainkan lewat piring makan. Istilah Gastro kolonialisme atau penjajahan pangan ini terjadi ketika sistem pangan lokal digantikan oleh makanan olahan murah yang diproduksi oleh korporasi besar.
Menurut laporan Rainforest Journalism Fund (2023), masyarakat Papua yang dulunya bergantung pada sagu, daging rusa, dan babi hutan kini beralih ke beras dan mie instan. Perubahan ini bukan alami, melainkan hasil intervensi negara dan masuknya pendatang yang membawa budaya konsumsi baru. Makanan instan kini menjadi simbol kasih sayang dan modernitas. Dalam banyak aksi sosial atau program bantuan, aparat dan influencer sering membagikan mie instan dan sarden kaleng yang tanpa sadar memperkuat logika kolonial: bahwa ubi, keladi, jagung tidak cukup “layak.”
Di NTT, kisah Sofia memperlihatkan efek paling nyata dari gastro kolonialisme. Diet nasi dan garam bukan pilihan, melainkan konsekuensi dari runtuhnya sistem pangan lokal. Bantuan beras menggantikan jagung, sementara kebijakan nasional membuat masyarakat semakin jauh dari kemandirian.
Kini, bentuk baru penjajahan pangan hadir dengan wajah yang lebih modern: Food Estate yang diklaim sebagai solusi ketahanan pangan nasional. Namun, di lapangan proyek ini justru mengulang pola lama : Mengambil tanah, mengabaikan masyarakat adat, dan merusak ekosistem. Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah dikerjakan pada tahun 2021 dengan target awal 30 ribu hektare. Tahun 2022 luasnya meningkat menjadi 60 ribu hektare. Pemerintah kemudian menargetkan luas lahan hingga 1,4 juta hektare pada akhir 2025. Beberapa lokasi utama food estate di Kalimantan Tengah berada di kabupaten Pulang Pisang dengan target 10 ribu hektare di Kabupaten Kapuas Seluas 20 ribu Hektar ( Kumparan. com). Sayangnya, ribuan hektare lahan di Kapuas dan Pulang Pisau itu terbengkalai, bahkan sebagian berubah menjadi perkebunan sawit. Petani mengaku gagal panen berulang kali. Akhirnya, lahan dibiarkan semak belukar dan tidak produktif untuk padi. Temuan Pantau Gambut mencatat bahwa sekitar 274,67 hektare lahan food estate di Desa Palingkau Asri, Palingkau Jaya, dan Tajepan, Kabupaten Kapuas, kini telah berubah menjadi kebun sawit. Bahkan, pembukaan lahan baru kembali terjadi di Desa Tajepan pada April hingga Mei 2024 lalu (Mongabay.co.id )
Di Papua, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) mengubah hampir satu juta hektare hutan adat menjadi sawah industri. Tanah sagu yang dulu menopang kehidupan masyarakat adat digusur tanpa persetujuan mereka. Alih-laih menjadi program yang menghasilkan jutaan ton pangan, MIFEE justru menjadi simbol pengabaian terhadap hak masyarakat adat di Papua. Dampaknya masif. Hutan yang digunduli meningkatkan emisi karbon, lahan gambut rusak, dan masyarakat adat kehilangan akses atas tanah serta sumber pangan.
Kebijakan pangan semacam ini menunjukkan bahwa negara belum keluar dari paradigma kolonial: memaksa alam dan masyarakat tunduk demi proyek politik, bukan keberlanjutan hidup.
Amfoang: Pangan Lokal Sebagai Benteng Ketangguhan
Sementara negara sibuk menanam sawah di tanah orang lain, warga Amfoang di Kabupaten Kupang membuktikan bahwa ketahanan sejati justru tumbuh dari tanah sendiri.
Di Desa Bioba Baru, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur badai Seroja 2021 merusak rumah dan ladang. Namun warga tetap bisa makan dari hasil kebun. “Kami dapat makan dari jagung, pisang, ubi-ubian yang kami tanam. Waktu COVID juga kami tidak susah makan,” kata Meriana Bokos, warga Desa Bioba, dalam laporan lapangan Yayasan PIKUL (2025).
Festival Pangan Adaptif di Oelbanu pada 18 September lalu, menjadi perayaan ketangguhan itu. Di atas meja panjang tersaji nasi sorgum, gaplek ubi, sambal jantung pisang, dan kudapan manis dari jagung yang disebut U’ Anu. Bagi warga, pangan bukan hanya sumber energi, tetapi identitas dan ingatan.
Ironisnya, di tengah potensi melimpah itu, pemerintah justru menyalurkan bantuan 10 kilogram beras kepada 22 juta penerima lewat Perpres No. 81 Tahun 2024. Kebijakan yang seolah peduli, tapi sejatinya memperdalam ketergantungan dan ini adalah bentuk halus lain dari gastro kolonialisme struktural.
Sofia mungkin kini mendapat manfaat dari intervensi negara, tapi kisahnya mengingatkan bahwa ketergantungan pada sistem pangan eksternal adalah solusi jangka pendek, bukan kedaulatan. Sebaliknya, masyarakat Amfoang adalah bukti bahwa pangan lokal adalah identitas, benteng ekologis, dan “senjata” menghadapi krisis iklim.
Referensi :
- Achmad Nur Hidayat. 2022. “Food Estate dan Reinkarnasi Ekstraktivisme Kolonial.” UPN Veteran Jakarta, dimuat di Kompas.com, 20 November 2022. https://achmadnurhidayat.id/2024/10/ekonom-kritik-proyek-food-estate-seluas-2-juta-hektare-di-papua-disebut-mirip-eksploitasi-era-kolonial/
- Anne Booth. 2016. Economic Change in Modern Indonesia: Colonial and Post-Colonial Comparisons. Oxford: Oxford University Press
- Banyak yang Gagal, Ini Daftar Wilayah Food Estate Jokowi dalam 10 Tahun. https://kumparan.com/kumparanbisnis/banyak-yang-gagal-ini-daftar-wilayah-food-estate-jokowi-dalam-10-tahun-221Ra0rAEbz
- Ekora NTT & Yayasan PIKUL. 2024. Tumpang Tindih Pembangunan dan Krisis Iklim di Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan PIKUL. https://pikul.id/2025/06/19/tumpang-tindih-pembangunan-dan-krisis-iklim-di-indonesia-timur/
Hidayat, Rahmat Owu. 2023. - “Gastro Kolonialisme: Runtuhnya Dominasi Pangan Lokal di Papua karena Sekardus Mi Instan.” Kompasiana, 25 Juli 2023. https://www.kompasiana.com/rahmatowu9599/66a1ddf9c925c4198545ba42/gastro-kolonialisme-runtuhnya-dominasi-pangan-lokal-di-papua-karena-sekardus-mie-instan
- Kala Lahan Food Estate Sawah jadi Sawit dan Semak Belukar di Kalteng https://mongabay.co.id/2024/11/14/kala-lahan-food-estate-sawah-jadi-sawit-dan-semak-belukar-di-kalteng/
- Rainforest Journalism Fund (RJF). 2023. Peliputan Lingkungan: Food Estate, Gastro Kolonialisme, dan Pangan Lokal. https://rainforestjournalismfund.org/id/resource/peliputan-lingkungan-gastrocolonialism
- Yayasan PIKUL. 2025. “Merayakan Pangan Lokal, Merawat Ketangguhan di Amfoang.” Kupang: Yayasan PIKUL.