Tantangan Utama dalam Mengintegrasikan Energi, Pangan, dan Air di Nusa Tenggara Timur

Menuju Transisi Iklim yang Berkeadilan

Krisis iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT) memperlihatkan betapa rapuhnya tiga sektor penting yaitu energi, pangan, dan air. Setiap kebijakan di satu sektor hampir selalu memengaruhi dua sektor lainnya. Pertanyaan besar pun muncul, bagaimana memastikan ketiganya terintegrasi, saling mendukung, dan tidak menimbulkan dampak baru?

Jawabannya bukan sekadar mempercepat transisi energi, tetapi memastikan NTT melakukan transisi iklim yang berkeadilan. Sebuah pendekatan yang menggabungkan mitigasi dan adaptasi secara bersamaan, dengan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. 

Hal ini dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh IRID dan Yayasan PIKUL pada 9 September 2025 bertema Mengintegrasikan Ketahanan Pangan, Air, dan Energi dalam Transisi Iklim Berkeadilan di Provinsi NTT, para peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari sektor pemerintah, sektor swasta, dan akademisi bersama-sama membedah tantangan ini dan mencari titik temu untuk solusi yang berkelanjutan.

“Kita tidak hanya bicara transisi energi, tetapi transisi iklim yang berkeadilan. Mitigasi dan adaptasi harus berjalan bersama,” ucap Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL

Selama ini, adaptasi sering dianggap solusi tunggal. Namun, jika tidak memperhitungkan dampak jangka panjang, ia bisa berubah menjadi “maladaptasi”. Begitu pula dalam upaya mitigasi. Upaya menurunkan emisi tidak boleh mengorbankan sumber daya air, lahan, atau pangan. Jika salah arah, krisis iklim justru semakin memperparah ketimpangan.

Konsep yang kini banyak dibahas adalah nexus. Nexus diibaratkan  simpul keterkaitan antara energi, air, dan pangan. Artinya, intervensi pada satu sektor harus selalu mempertimbangkan dampaknya pada sektor lain. Perencanaan yang sektoral dan terpisah-pisah sudah tidak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas persoalan di NTT.

Namun, mengintegrasikan ketiga sektor ini bukan perkara sederhana. “Intervensi energi yang tidak terintegrasi dengan sektor lain justru memperparah sosial ekonomi,” kata Dr. Alfonsus Theodorus, Kepala Bappeda Provinsi NTT. Ia menambahkan bahwa dokumen perencanaan daerah sebenarnya sudah cukup komprehensif, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. “Rencana itu baru omong sabda, belum jadi daging,” ujarnya menggambarkan lemahnya eksekusi setelah perencanaan. “Tujuh puluh persen keberhasilan program itu tergantung perencanaan. Tiga puluh persen sisanya baru eksekusi,” tegasnya.

Anindya Wirdawati, Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, juga menyoroti masalah kewenangan yang semakin terpusat setelah lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Cipta Kerja. “Provinsi itu hanya seperti menonton. Kita tidak punya instrumen dan pendanaan untuk menjalankan rencana,” ucapnya.

Selain persoalan kewenangan, kelembagaan iklim di daerah masih lemah. Tidak ada lembaga khusus yang mengkoordinasikan agenda perubahan iklim. Urusan ini hanya dititipkan kepada Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI) dengan kewenangan terbatas. Data pun terfragmentasi. “Data dari Bappenas, KLHK, LSM, dan perguruan tinggi sering tidak terintegrasi, bahkan ada yang tidak dilaporkan,” tambah Anindya.

Keterbatasan pendanaan menjadi tantangan berikutnya. “APBD provinsi sangat minim. Untuk program rutin saja sering kurang. Jadi program mitigasi dan adaptasi sangat bergantung pada transfer pusat atau dukungan NGO,” ujar Andry Ratumakin, Direktur Knowledge Management Yayasan PIKUL. 

Di sisi lapangan, konflik nexus antara energi, pangan, dan air juga sangatlah besar. Target bauran energi terbarukan sebesar 63,07 persen pada 2030 mendorong pembangunan PLTS. Namun, ketersebaran pemukiman membuat pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang terpusat sulit. 

Selain itu ada kritik mengenai rencana pengembangan bioetanol dari jagung di Sumba dan Timor sempat mengundang perdebatan. “Ini berbenturan dengan pangan kita ya, bioetanol ini. Bisa jadi kita tidak lagi makan jagung bose, tapi minum bensin minum etanol,” kritik Yohanes Paut, Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Bapperida Provinsi NTT

Dirinya juga menambahkan dalam transisi energi seperti biomassa akan bertentangan dengan tutupan lahan juga kekhawatirannya terhadap pembalakan liar. Penggunaan biomassa (kayu) untuk co-firing di PLTU Bolok dikhawatirkan akan memicu pembalakan liar, mengganggu kawasan hutan, dan tidak cocok untuk NTT yang semi-arid. Tanaman biomassa cepat tumbuh juga menghabiskan air tanah lebih cepat.

“Biomassa ini saya melihat ini akan berbenturan dengan tutupan lahan kita, dengan adanya co firing maka akan memperbesar peluang pembalakan liar. Ini akan membuat kawasan hutan akan terganggu.” 

Diskusi ini juga menyoroti bagaimana Proyek Strategis Nasional yang tidak berdasar pada riset akan memperburuk situasi. NTT. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur, NTT diarahkan untuk menyediakan 331.000 hektar lahan untuk pangan dan energi. 

Proyek Strategis Nasional (PSN) pengembangan garam seluas 13.000 hektar di Rote Ndao berisiko ‘membinasakan begitu banyaknya mangrove’, padahal mangrove adalah penyerap emisi karbon yang penting,” disampaikan oleh Sipri dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

Dalam diskusinya, Sipri secara spesifik menyoroti bahwa proyek nasional di Rote Ndao yang melibatkan pengembangan garam seluas 13.000 hektar itu “mengancam mangrove”. Ia lebih lanjut menegaskan kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa “Mangrove menyerap emisi, tetapi akan dibongkar dengan garam.” 

Meskipun NTT memiliki potensi energi arus laut (seperti di Selat Gonzalo) dan angin yang melimpah, energi ini sering terabaikan karena fokus pusat pada “geothermal island” Flores, Yohanes Paut, Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Bapperida Provinsi NTT

Di sektor air, masalah paling mendesak adalah kelangkaan air. Meskipun tujuh bendungan besar telah dibangun, pasokan air belum mencukupi. Standar WHO adalah 60 liter per orang per hari, tetapi di NTT baru mencapai 20–25 liter, termasuk kebutuhan MCK. Embung-embung yang ada sering tidak optimal karena penempatannya tidak didahului need assessment yang tepat dan lokasinya jauh dari lahan pertanian. 

Sumur bor yang seharusnya menjadi alternatif terakhir kini justru menjadi pilihan utama. Hampir setiap rumah tangga ingin memiliki sumur sendiri. Eksploitasi air tanah yang berlebihan mengganggu neraca air bawah tanah dan memperlemah struktur tanah. Sementara itu, reboisasi masih minim sehingga banyak mata air mengering.

Pertanian juga belum sepenuhnya beradaptasi dengan perubahan iklim. Program penyesuaian waktu tanam dan jenis komoditas sedang dilakukan, tetapi benih yang sesuai belum selalu tersedia. Lembaga pengatur air seperti GP3A dan Komisi Irigasi, yang seharusnya mengatur pola tanam dan alokasi air, banyak yang tidak aktif.

Solusi yang ditawarkan para pemangku kepentingan adalah pendekatan yang lebih menyeluruh. “Daripada membuat rantai energi panjang seperti etanol dari jagung, lebih baik memanfaatkan potensi energi angin dan surya yang berlimpah di NTT. Energi ini bisa mendorong air dari bawah ke atas di topografi yang curam,” jelas Marten, Akademisi Universitas Artha Wacana. 

Selain itu, konsep wanatani dan agroforestri dipandang sebagai solusi ideal karena mampu menghasilkan pangan, energi rumah tangga, sekaligus menjaga lingkungan. Infrastruktur penampungan air harus direncanakan dengan basis riset dan melibatkan masyarakat. Teknologi hemat air seperti irigasi tetes juga mulai diperkenalkan.

Dengan pendekatan yang melibatkan riset, teknologi, pengetahuan lokal, dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, NTT memiliki peluang untuk melakukan transisi iklim yang berkeadilan. Upaya ini bukan hanya menjaga ekosistem, tetapi memastikan kesejahteraan rakyat tidak dikorbankan di tengah krisis iklim yang kian nyata.

Post Related

Scroll to Top