Kupang dikenal dengan sebutan Kota Kasih. Ini merupakan akronim dari Karya, Aman, Sehat, Indah, Harmonis. Sebuah semboyan yang menandai semangat hidup bersama dalam harmoni. Tugu Merpati di jantung kota Kupang menjadi ikon, dua telapak tangan melepaskan burung merpati putih dengan doa “Uis Neno Nokan Kit” atau Tuhan memberkati kita.
Namun, gelombang demonstrasi nasional pada 25 Agustus sampai dengan September 2025 mengguncang pertanyaan mendasar. Apakah kasih yang diagungkan itu sungguh kasih yang membebaskan, atau justru hegemoni yang meredam kemarahan rakyat?
Jika dikaitkan dengan kasus doa bersama yang digelar Pemerintah NTT, terlihat adanya potensi kekeliruan dalam menerapkan makna Kasih. Di saat kota-kota lain dilanda gelombang demonstrasi menuntut keadilan atas kebijakan pemerintah yang memakan korban jiwa seperti Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas rantis polisi. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur justru memilih jalur doa bersama pada 31 Agustus 2025. Keprihatinan itu ditampilkan dalam bentuk seremonial yang rapi, lengkap dengan ajakan menjaga kedamaian dan persatuan, tetapi tanpa menyentuh akar persoalan ketidakadilan yang sedang diprotes.
Kasih, dalam konteks ini, tampak menjadi sebuah hegemoni: alat yang menenangkan keresahan, bukan yang menuntut perubahan. Simbol kasih yang semestinya berpihak pada korban justru menggeser simpati kepada aparat pelaku, dengan alasan menjaga harmoni dan stabilitas. Petisi untuk Kompol Cosmas Kaju Gae, perwira polisi bertanggung jawab atas kematian Affan adalah contoh bagaimana solidaritas identitas daerah muncul sangat kuat. Petisi bahkan menyebut Cosmas sebagai putra Laja yang telah mengabdi, dan lebih dari 167.000 orang menandatangani dalam waktu kurang dari 24 jam.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan penghentian aksi kekerasan dan mengedepankan suasana perdamaian saat acara doa Bersama untuk Negeri. “Sebagai Provinsi di bagian paling Selatan di NKRI ini, kita ingin memberi pesan kepada semua teman-teman, cukup sudah kekerasan di negeri ini. Kita mesti jaga agar suasana kedamaian ini tetap terjaga dengan baik. Semua itu bisa terjadi kalau kita bergandengan tangan, tanpa terkecuali.” (swaratimor.co.id, 2025)
Kasih, dalam konteks ini, tampak lebih mirip perisai politik ketimbang panggilan moral. Solidaritas yang semestinya berpihak pada korban justru mengalihkan simpati kepada aparat pelaku, dengan dalih menjaga ketertiban dan kedamaian. Pemerintah daerah mengedepankan seremonial keprihatinan, tetapi luput menjawab pertanyaan publik: apakah hukum ditegakkan secara adil? Apakah kematian seorang warga sipil diproses tanpa kompromi?
Mengutip teori Clifford Geertz, kasih seharusnya berfungsi sebagai nilai sosial yang melandasi solidaritas dan kebersamaan, bukan sekadar retorika yang menjaga status quo. Dengan memilih doa bersama sebagai respon, Pemprov NTT tampak lebih fokus pada stabilitas ketimbang keadilan substantif.
Selain itu, Gubernur juga mengimbau masyarakat NTT agar tidak terprovokasi dengan unjuk rasa yang berpotensi menjadi anarkis, sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Ia meminta agar aspirasi disampaikan secara damai, dialogis, dan menghormati hukum. Demo boleh, tapi tindakan perusakan atau kekerasan tidak ditoleransi.
Dengan cara ini, doa bersama dan imbauan gubernur menjadi bagian dari narasi kasih yang defensif. Meredam ketegangan, menjaga citra daerah sebagai “aman dan harmonis,” bukan mendesak reformasi atau pertanggungjawaban yang substantif atas kematian Affan dan pelanggaran HAM lainnya.
Namun jika diukur dengan standar hak asasi manusia, respons negara, baik di tingkat pusat maupun daerah jelas problematik. Deklarasi Universal HAM dan dua kovenan internasional (ICCPR & ICESCR) menegaskan tiga hal mendasar: hak hidup, hak bersuara, dan hak atas rasa aman. Indonesia sudah meratifikasi keduanya, sehingga terikat secara hukum untuk menjamin hak-hak itu.
Tambahan lagi, Amandemen UUD 1945, terutama Pasal 28, menegaskan hak-hak tersebut sebagai hak konstitusional warga negara. Artinya, negara tidak bisa sekadar menyerukan “kedamaian” tanpa memastikan keadilan ditegakkan.
Negara, termasuk pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, adalah pengemban kewajiban HAM. Mereka dituntut untuk:
- Menghormati – tidak melanggar hak rakyat secara langsung.
- Melindungi – mencegah pelanggaran oleh pihak lain.
- Memenuhi – menciptakan kondisi agar rakyat dapat menikmati haknya.
- Memajukan – mengembangkan budaya hukum yang adil.
Kasus Affan Kurniawan menunjukkan kegagalan di keempat level ini sekaligus. Negara tidak hanya gagal melindungi, tetapi justru menjadi pelaku yang merampas hak hidup warganya pelanggaran by commission. Dan ketika pemerintah daerah hanya mengimbau masyarakat untuk “menjaga kedamaian” tanpa ada proses akuntabilitas yang jelas, itu adalah pelanggaran by omission, kelalaian untuk memenuhi hak atas keadilan.
Di titik ini, semboyan “Kupang Kota Kasih” terasa goyah. Kasih yang seharusnya berarti perlindungan bagi yang lemah, justru tampak sebagai mekanisme penjinakan politik. Rakyat diajak tenang, tapi tidak diberi jaminan bahwa hukum ditegakkan. Pertanyaan pentingnya: apakah kasih yang dimaksud benar-benar kasih, atau justru hegemoni yang menuntut kepatuhan tanpa kritik?
Di sinilah konsep hegemoni kasih menemukan relevansinya. Dalam kerangka pemikiran Karl Marx, agama kerap menjadi “candu” yang meninabobokan rakyat. Memberi pelipur lara tanpa mengubah struktur ketidakadilan. Doa bersama, seruan menjaga kedamaian bisa terbaca sebagai upaya meredam gejolak publik, bukan menuntaskan akar persoalan.
Padahal, tradisi teologis sendiri tidak pernah memisahkan kasih dari kebenaran. Ensiklik Caritas in Veritate dari Paus Benediktus XVI menegaskan kasih tanpa kebenaran berisiko berubah menjadi sentimentalitas belaka, kehilangan daya kritisnya. Kasih yang sejati menuntut keadilan ditegakkan bahkan jika itu berarti mengoreksi aparat negara.
Roma 13 memang menyerukan kepatuhan kepada pemerintah, tetapi seruan itu tidak bisa dibaca secara buta. Kepatuhan warga negara hanya sah jika pemerintah menjalankan mandatnya dengan adil. Ketika negara gagal menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak rakyat, kritik bukanlah tindakan anarkis, melainkan ekspresi sah dari hak bersuara.
Konteks NTT yang kerap dilabeli sebagai provinsi toleran dengan semboyan Kupang Kota Kasih dan slogan populer “NTT: Nanti Tuhan Tolong” seharusnya menjadi ruang yang subur untuk memperjuangkan keadilan. Namun, jika kasih hanya menjadi retorika yang meredam kemarahan rakyat, maka yang terjadi bukan lagi perlindungan, melainkan penjinakan.
Asimetri kekuasaan yang begitu besar antara aparat bersenjata dan warga sipil membuat kasus Affan menjadi peringatan keras. Ia bukan hanya korban individual, tetapi simbol dari rapuhnya perlindungan HAM di Indonesia. Respons negara yang lebih sibuk mengelola citra ketimbang akuntabilitas justru memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Kasus Affan Kurniawan adalah ujian bagi negara, juga bagi masyarakat. Apakah kita akan membiarkan kematian seorang warga menjadi sekadar angka dalam laporan polisi, atau menjadikannya momentum untuk menuntut perubahan? Semboyan Kupang Kota Kasih hanya akan bermakna jika kasih itu diwujudkan dalam tindakan yang berpihak pada korban, bukan sekadar seruan menjaga ketenangan.
Kasih yang sejati menuntut keberanian untuk berkata. Ada yang salah ketika aparat menindas rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Ada yang keliru ketika pemerintah lebih sibuk meredam gejolak ketimbang menegakkan keadilan.
Apakah hukum ditegakkan dengan benar? Apakah penegak hukum menjalankan tugas dengan baik?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita sedang membangun masyarakat yang lebih adil atau sekadar memperpanjang siklus ketakutan dan penundukan.
Jika kasih terus dimaknai sebagai kewajiban rakyat untuk diam dan sabar, maka kasih itu tak lagi menjadi terang, melainkan bayang-bayang hegemoni. Maka, barangkali inilah saatnya bagi masyarakat Kupang dan Indonesia untuk memastikan bahwa kasih tidak berhenti di bibir, tetapi diwujudkan dalam keberanian menuntut keadilan.